Membirukan Langit Senja


Ibu, aku terkapar dengan sayatan luka yang menganga
Menyaksikan mereka yang asing dengan alif lam mim
namun begitu lekat dengan kapak pembelah pinang …
Seakan tersayat sembilu tumpul, kusaksikan anak-anak yang belum beranjak dewasa memangku kapak di tangannya sepulang sekolah. Mungkin baginya, kapak lebih berarti bagi kehidupan dibandingkan sebatang pena yang tak begitu akrab dengan tangan kasar mereka. Jika di perkotaan sana orang berebut membeli tas, sepatu, dan baju baru, mereka di sini berebut mencari pinang untuk dijual dan dijadikan bekal hidupnya. Sekelam itukah hidup mereka? Akan sampai kapan mereka terus seperti ini?
Pergolakan batin yang cukup membuatku termenung ketika kali pertama kuinjakkan kaki di timur Indonesia. “Goresan takdir ini tentu bukan inginnya mereka. Namun, sempurna keyakinanku bahwa Allah mahasuci dari kecacatan menentukan takdir makhluknya. Meski demikian, 24 jam waktu yang mereka lalui, tampaknya tak pernah sekalipun mereka lakukan untuk Tuhannya. Atau mungkin mereka sama sekali tidak mengenal Tuhan?” banyak pertanyaan yang tetiba saja muncul di benakku.
***
Genap empat tahun kuhabiskan waktuku di pesantren di Kota Bandung. Kutanggalkan jeans ketat yang dulu jadi kebanggannku. Kuubah gaya busanaku dengan gaya yang kata orang tampak kolot. Bagiku, pakaian ini adalah pakaian surgawi. Wanita surga tak perlu pakaian yang bertabur intan berlian. Wanita surga tak perlu riasan yang menarik beribu pasang mata lelaki. Wanita surga hanya perlu kecantikan dan kekayaan hati. Bulat sudah keteguhan imanku. Surga adalah kampung halaman tempat aku harus kembali. Satu yang menjadi PR untukku, salah satu bahayanya dari pesantren itu adalah ilusi ilmu. Tidak sedikit yang merasa banyak beramal dengan hanya tahu ilmunya. Orang yang benar-benar berilmu akan menjadikan ilmunya peningkat taat pada Allah dan penambah manfaat untuk sesama.
“Khairunnaas anfa’uhum linnaas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain,” dengan suara paruh bayanya, kudengar kiai berulang kali menyampaikan hadits itu di pondok setiap tausiyah menjelang fajar. Dulu, mendengarnya adalah hal yang membosankan. Kata-kata itu ibarat hanya getaran udara yang masuk di telinga kanan dan keluar di telinga kiri, tak pernah sekalipun menetap bahkan mampir di kalbuku. Tapi kiai tak pernah bosan menyampaikannya, hingga suatu saat pernah aku berpikir. Kiai ini menjadikan ucapannya sebagai senjata yang membuatnya bermanfaat untuk banyak orang. Terbayang ketika ia mengingatkan untuk salat, ratusan bahkan ribuan orang yang mendirikan salat jalannya karena ajaran kiai ini, maka ia mendapat aliran pahalanya. Pernah pula ada seorang nenek tua renta yang dengan tergopoh-gopoh dan larut malam mampir ke pondokku untuk menyerahkan hartanya.
“Bunda, masih ada esok hari untuk datang berwakaf ke sini. Mengapa Bunda memaksakan untuk datang selarut ini?” ujar petugas wakaf pada nenek itu dengan penuh kekhawatiran.
“Saya tak tahu sampai kapan saya bisa hidup, saya takut tak ada lagi waktu yang tersisa untuk mewakafkan uang ini,” ujar nenek itu sambil terisak haru.
Baarakallahu fiik. Jazaakillahu khairan katsiiran. Semoga Allah memberkahi kehidupan Bunda dan keluarga,” ucap petugas wakaf membalas kebaikan nenek itu dengan doa.
Uang yang ia berikan adalah untuk wakaf masjid. Allah menjanjikan rumah di surga bagi siapapun yang mau membangun rumah Allah. Allah yang berjanji, dan aku haqqul yakin, Allah tak akan pernah ingkar, Allah tak akan menyia-nyiakan sekecil apapun kebaikan hambaNya. “Betapa beruntungnya nenek itu,” gumamku dalam hati.
***
Kupelajari sekitar hingga aku bertekad, aku harus berbuat sesuatu yang bukan hanya untukku, keberadaanku harus bermanfaat untuk orang lain. Kemudian, keningku mengerut menyadari aku tak punya apa-apa. Tak banyak buku yang aku baca sebagai sumber ilmu. Tak banyak harta yang bisa aku bagikan. Tenagaku tidaklah luar biasa untuk membantu banyak orang. Aku hanya punya keinginan. Keinginan? Bahkan orang yang punya banyak ilmu, yang punya banyak harta pun tak banyak yang punya keinginan berbagi dan bermanfaat bagi orang lain. Dan aku punya itu, aku pasti bisa!
Bermodalkan keinginan itulah aku melangkahkan kaki ke tanah ini. Awalnya, ibuku yang kini semakin sering mengeluh sakit tak sepenuhnya mengizinkan aku pergi jauh darinya. Ia menangis ketika aku meminta izin hendak mengabdi di daerah tertinggal.
“Ibu, aku sudah lulus kuliah dan pesantren. Ada mimpi yang ingin aku wujudkan. Aku sangat ingin menjadi pengajar agama di daerah tertinggal. Bolehkah aku pergi, Bu?” dengan tangan gemetar kusampaikan niatku pada ibu senja itu.
“Boleh, Nak. Kau boleh pergi sesukamu jika itu memang yang kau inginkan dan baik untukmu,” dengan suara lirih ia menjawabku.
Selalu begitu. Ibu selalu mengizinkan aku untuk berbuat apapun yang jadi kehendakku. Akan tetapi, kali ini berbeda. Restu ibu terdengar memilukan di telingaku. Ia tak sepenuh hati melepaskanku pergi mengabdi ke pelosok negeri. Sementara aku, aku tak bisa menahan diri untuk pergi. Mengobati pilunya hati yang ibu rasakan, setiap hari menjelang kepergianku aku turuti semua keinginan ibuku. Suatu pagi ketika kusapu kamarnya, kudapati rontoknya rambut ibu yang kian memutih.
“Allah, tak kusadari usia ibuku semakin menua, jagalah ia dalam naungan Rahman dan Rahiim-Mu,” bergetar bibirku ketika batinku melangitkan doa itu. Luapan emosi yang mengharu biru menyambar kelopak mataku hingga menitikkan air mata. Teringat segala pengorbanannya. Saat aku masih kuliah dan pesantren, sesekali aku pulang ke rumah. Setiap pulang, ibu selalu menyiapkan tempat tidur yang nyaman. Rumahku berada di kawasan pegunungan dengan hawa yang sangat dingin. Ibu selalu menghangatkan hari-hariku dengan kasih sayangnya yang entah batasnya. Ia memasakkan makanan kesukaanku, udang balado, nyaris setiap aku pulang kampung.
“Ibu, bagaimana bisa aku lebih membahagiakanmu. Kuharap, aku punya waktu untuk menjadi yang kau mau!” Ibu selalu saja hadir di setiap doa dalam sujud terakhirku. Ibu tak pernah absen dari setiap munajatku di sepertiga malam terakhir.
“Jikalah Kau izinkan aku beramal baik, alirkan juga pahalanya untuk orang tuaku, terutama ibuku. Jikalau aku terlanjur salah, maka ampunilah aku dan jangan sertakan orang tuaku dalam dosa-dosaku. Sungguh mereka telah mencurahkan segenap kasih sayang dan pengorbannya untuk menjadikanku sebagai hambaMu yang taat dan penuh manfaat,” doa itu yang berulang aku panjatkan dengan penuh pengharapan.
Kini, jarak yang terbentang antara aku dan ibu semakin menderaskan doaku untuknya. Kutatap wajah para sesepuh tempat ini, aku melihat bayangan ibu dalam setiap guratan wajah para ibu di sini. Aku harus melakukan yang terbaik untuk mereka. Orang yang terbaik adalah orang yang mengenal siapa dirinya. Orang yang mengenal siapa dirinya dengan baik tentu mereka akan menemukan Allah dalam dirinya. Itulah yang dulu kiai ajarkan sebagai orang yang makrifatullah, mengenal Allah melalui dirinya. Namun tampaknya, Islam hanya sebatas hitamnya tinta di atas putihnya kertas bagi orang-orang di sini. Bertahan hidup adalah makna hidup bagi mereka. Barangkali, mereka tidak mengenal atau mungkin hanya tak acuh saja pada kepastian hidup yang lebih kekal setelah mati.
***
Waktu yang bergulir mengantarkanku pada bulan kedua keberadaanku di tanah ini. Di tempat ini aku mengajarkan Alquran pada masyarakat Islam di sini, tidak hanya pada anak-anak. Aku merasa cukup cepat beradaptasi di tempat ini, meski tidak semua orang menerima kehadiranku di sini. Hingga sampailah aku pada badai takdir yang nyaris menenggelamkanku.
“Hei, kau bocah ingusan! Kau jangan sok alim di sini! Kau pikir Alquranmu itu bisa mengenyangkan perut mereka?” teriak seorang lelaki bertubuh tegap dan berkulit gelap itu sambil membawa kapak pada saat aku sedang bersama anak-anak.
“Mohon maaf, Pak. Apa maksud Bapak? Saya hanya mengajarkan mengaji pada mereka,” ucapku dengan keberanian yang dipaksakan.
“Ngaji itu kalau kita sudah kaya, kalau kita sudah bisa hidup tenang. Pulang saja kau ke tempatmu! Jangan kau ganggu kami dengan ajaran sesatmu!” ucapan itu mendarat tepat di ulu hatiku.
Lelaki itu ternyata ayah dari beberapa anak yang aku ajar. Ia pun suami dari seorang perempuan yang kerap kali datang konsultasi padaku mengenai Islam. Kejadian itu kuceritakan pada ibu saat aku berkesempatan ke kota untuk menelepon ibu.
“Nak, hadirnya lelaki itu tentu atas izin Allah. Selama ini kamu merasa berhasil membuat orang-orang di sana mengenal Allah. Boleh jadi Allah mengingatkanmu agar kau tidak merasa sombong.”
“Apa maksud ibu? Bu, usia mudaku aku korbankan untuk mereka, mengapa lelaki itu begitu kejam padaku seolah aku menyengsarakan mereka?” derai air mata tak bisa kutahan lagi.
“Nak, segala kebaikan itu hanya berasal dari Allah. Tentu kita tidak boleh merasa berbangga diri sudah berbuat kebaikan. Mereka mengenal Allah karena Allah yang karuniakan hidayah itu untuk mereka. Hadirnya kamu di sana hanya menjadi jalan saja. Kamu harus bersyukur Allah berkehandak menjadikanmu jalan mereka mengenal Allah.”
Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari wanita yang selalu ada selama dua puluh dua tahun hidupku ini. Dua hari setelah itu pengurus desa mendatangiku dan mengabari bahwa ibuku telah tiada. Ibu tak terbangun lagi ketika sujud terakhir saat salat subuh di surau dekat rumahku. Kabar itu seolah menggelapkan seluruh duniaku. Tak ada kata yang mewakili hancurnya hatiku. Hidupku seolah ikut berakhir saat itu. Salah seorang tetanggaku di sini mengantarku ke kota untuk pulang. Tapi rasanya kegetiran menghadangku bertubi-tubi. Tak ada penerbangan hari itu karena cuaca buruk.
“Ya Allah, apa yang Kau mau dariku dengan takdir ini?” aku merasa sangat kecil di antara kebesaran Rabb-ku. Dengan deraian air mata yang sulit kuhentikan aku salat di masjid dekat bandara. Terkenang kata-kata terakhir yang ibu ucapkan.
“Ampuni aku atas sekecil apapun kesombongan yang ada dalam hatiku. Aku hamba-Mu dan Engkaulah Tuhanku. Tak ada sedikit pun kebaikan yang bisa kulakukan selain Engkau yang mengizinkan. Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin,” kulantunkan doa yang dipanjatkan oleh nabi Nuh tatkala ia dikepung kegelapan malam, kegelapan lautan, dan kegelapan perut  ikan.
Sekilas aku merasa tak kuasa menjalani kehidupan ini. Tapi Allah tak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan. Tak ada beban tanpa pundak. Taubat adalah pintu pertama yang harus dilalui dalam menghadapi persoalan hidup karena tak ada persoalan selain diundang oleh dosa sendiri. Itu yang sering kiai sampaikan di pesantren saat ada santri yang meminta solusi.
Kubangun kembali kekuatan demi kekuatan. Kali ini aku hanya berikhtiar melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan. Tak ada lagi perasaan bahwa aku punya kemampuan bisa membirukan merahnya langit senja di tempat ini. Kuasa Allah, pengajar Alquran di tempat ini semakin banyak. Bukan hanya para relawan sepertiku, penduduk asli di sana pun lambat laun mulai belajar dan mengajarkan Alquran. Senja yang merah kini diramaikan dengan lantunan ayat-ayat suci di tempat yang dulu huruf alif saja tak dikenal. Aku tak mampu membirukan merahnya langit senja di sudut negeri ini. Tapi Allah memperlihatkan keindahan senja yang berlandaskan firman-firmanNya.
Seiring dengan itu, perubahan perilaku pun mulai terasa. Perlahan, Alquran pun tercermin dalam kehidupan mereka. Hidup mereka tak lagi hanya membelah pinang sebagai sumber penghasilan. Mereka kini menjalankan kodratnya sebagai hamba yang beribadah pada Tuhannya dalam setiap aktivitas. Rangkaian peristiwa yang mengantarkanku pada banyak hikmah hidup. “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, aku bersyukur atas segala suratan takdirMu.”



Selesai

Komentar

Postingan Populer