Sebab Itu Aku Kembali
Turbulensi mental. Hal yang kerap dialami seorang istri atau ibu yang
baru menikah. Terdengar sepele atau bahkan berebihan, tapi kondisi ini sangat
bisa mengubah kondisi seorang ibu. Bagaimana tidak, sejak kecil,
bertahun-tahun, pendidikan formal membentuknya menjadi akademisi,
organisatoris, tapi seringkali mengabaikan pendidikan fitrah. Menjadi istri dan
ibu sudah menjadi fitrah bagi seorang perempuan. Sayangnya, bekal menjalani
amanah tersebut kerap terabai. Sehingga wajar saja banyak perempuan yang gagap
tatkala kedua peran itu tetiba melekat pada dirinya.
Itu yang aku alami tiga tahun lalu, sehingga hiatus atau beristirahat
dari media sosial menjadi keputusan saat itu. Setahun lamanya lebih kurang
larut dalam keterpurukan kehilangan banyak hal. Belum lama menjalani peran baru
yang tak mudah, kemudian Allah hadirkan janin dalam Rahim, tak lama kemudian Allah panggil mama, lanjut harus pindah
domisili ke kota yang cuacanya jauh dari rasa nyaman, dan harus meninggalkan karier
yang selama ini sangat aku nikmati. Rentetan takdir yang saat itu menderaskan
air mata.
Tetiba terasing.
Tetiba sendiri.
Semuanya serba tiba-tiba. Hanya aku yang lamban menyadari betapa ini
adalah suratan terbaik yang telah ditorehkan sang Khaliq.
Lalu apa yang aku dapat dari meratap? Betulkah aku yang paling menderita saat itu? Sampai kapan aku menenggelamkan diri dalam lautan luka? Betulkah aku menderita karena takdir yang menimpaku?
Nyatanya, kesedihan yang dirasakan dan membuatku tenggelam di dalamnya bukan karena peristiwa-peristiwa yang menimpaku. Lambat laun cahaya itu datang, menyadarkan diri bahwa yang salah bukan takdirnya, kesalahan tepat mengarah pada diri yang tak membekali diri bersiap menjalani fitrah sebagai seorang perempuan, menjalani takdir yang kadang tak sesuai harapan, menjalani hari-hari dengan kedatangan dan kepergian orang-orang sekitar. Dan utamanya, keringnya iman dan rasa syukur terhadap apa yang dimiliki.
Sejauh apapun melangkah, jika yang menjadi landasan adalah iman, serta
yakin bahwa dunia hanyalah persinggahan, kekuatan mental dan batin akan lebih
kokoh. Akan ada saatnya kita pulang pada tempat yang lebih abadi. Keabadian
yang seperti apa kelak yang akan kita hadapi tentu bergantung bagaimana kita
bersiap saat ini.
Sebab itu aku kembali. Aku tak ingin terlambat bersiap. Sekecil apapun yang bisa dilakukan, asal itu bisa menambah bekal kebaikan dunia dan akhirat, insyaaAllah siap dilakukan. Berbekal yakin, peran yang saat ini kita emban, hanya fasilitas yang Allah sediakan. Bisa kita manfaatkan untuk pulang pada keselamatan, atau justru kita gunakan untuk menghancurkan diri sendiri.
Akhir
kisah kita, kita yang tentukan.
Komentar
Posting Komentar