2018: Musim Silih Berganti (Bagian 2)
Pernikahan menjadi musim semi yang mewarnai tahun itu. Dalam
kondisi yang tidak ideal pun segalanya terasa lebih indah dijalani karena
selalu ada teman lama yang jadi temanku selamanya insyaaAllah. Bertambah tambah
kebahagiaan itu karena tak lama Allah titipkan janin dalam rahim. Sungguh
pergantian musim itu mengalir bak aliran sungai yang menentramkan. Tanpa banyak
berharap, Allah berikan segalanya bahkan tanpa diminta, maasyaAllah.
Hingga sampailah di penghujung tahun. Dengan perut yang mulai
membesar, aku pun harus pulang pergi Bandung-Purwakarta untuk menemani Mama
yang saat itu diuji sakit. Sirosis hatinya kian memburuk. Sebetulnya penyakit
ini sudah dideritanya sejak lama, sejak aku masih berseragam putih abu. Selama
itu mama bertahan dan tak jarang harus keluar masuk rumah sakit. Anak-anaknya
rasanya sudah terbiasa tinggal di rumah sakit. Bahkan kami selalu menyiapkan
koper siap dibawa ke rumah sakit kalau-kalau mama kambuh.
Kali ini aku yang berkesempatan menemani Mama di ruang rawat inap.
Kakak-kakak yang lain sedang ada kesibukan, suami pun sedang harus mengikuti
tes kerja
di luar kota saat itu. Mama terlihat
segar, bercerita banyak hal, menasihati hal-hal yang sedang aku rasakan,
padahal aku tak menceritakannya pada siapapun, MaasyaAllah Mama tahu. Aliran rasa anak dan ibu memang kuasa Allah yang
kadang tak logis. Jumat itu mama diperbolehkan pulang karena kondisinya jauh
membaik. Bahkan saat aku mengurusi administrasi rumah sakit, mama yang packing
perbekalan kami. Dalam
perjalanan pulang Mama terus saja mengusap-usap punggungku karena tak sengaja
terjedug tempat tidur rumah sakit. Hangatnya usapan tangannya masih saja terasa.
Bahagia tak terkira, aku ajak mama ke tempat makan favoritnya. Mama
pun memesan makanan favoritnya sambil membuka halaman demi halaman album foto
pernikahanku yang baru saja kami terima. MaasyaAllah, alhamdulillah, aku
teramat bersyukur melihat kondisi mama. Saat itu usia kandunganku memasuki 4
bulan. Mama pun dengan semangat menuturkan rencananya menggelar pengajian 4
bulanan kehamilanku. Melihat kondisi mama yang membaik ini lah aku dengan
tenang kembali ke Bandung karena harus kembali bekerja. Esok harinya Mama
menelepon suamiku, tak biasanya. Mama terus mengkhawatirkan punggungku yang
sakit.
Akhir pekan itu kupikir akan menjadi kesempatanku rehat dari segala penat. Bersama suami, aku panen mangga muda di depan rumah mertua. MaasyaAllah, mangga itu panen tepat saat aku sedang hamil muda, rizqi minallah. Tak lama, aku bergegas kembali ke Purwakarta karena kondisi Mama yang tiba-tiba memburuk. Mama pun dilarikan ke IGD rumah sakit tempat ia biasa dirawat. Aku tak bisa menemaninya karena terbatasnya jumlah penunggu pasien. Hanya sampai memastikan Mama masuk ruang rawat, setelah itu aku kembali ke Bandung. Kucium lengannya sambil berpamitan.
Keesokan harinya aku masuk kantor seperti
biasa, meski dengan hati yang tak sepenuhnya hadir. Jelang jam istirahat aku
mendapat telepon dari kakakku untuk segera pulang karena Mama harus masuk ruang
ICU dan sudah tak sadarkan diri. Serasa langit runtuh menimpaku. Aku tak kuasa
berkata-kata, hanya mampu menangis sejadi-jadinya padahal itu masih di kantor.
Rekan-rekanku di kantor menenangkan, menguatkan. Aku langsung dijemput suami
saat itu juga dan kami langsung ke Purwakarta. Sepanjang perjalanan hati seakan
sudah merasa kehilangan. Rasa takut, penyesalan, dan segala emosi menyeruak
membuat tangisanku semakin menderas.
Tiba di rumah sakit, kami silih berganti menemui mama karena mama tak boleh ditemani. Aku simpan speaker Alquran dekat telinganya agar ayat-ayat Allah yang temani Mama. Untungnya petugas rumah sakit mengizinkan. Sampai tiba saatnya tengah malam, akhirnya pihak keluarga diizinkan untuk terus menemani Mama karena kondisinya yang tak kunjung membaik. Aku tak berhenti melantunkan ayat-ayat Alquran di dekatnya. Masih lekat dalam ingatan, dua pekan sebelumnya Mama dengan persis menunjukkan surat-surat Alquran yang dibacanya ketika menemani ibunya (nenekku) menjemput ajal. Sambil terisak, kuhantarkan Mama pada tarikan nafas terakhirnya dengan surat-surat itu. Barangkali dulu, Mama yang ajarkan aku mengenal ayat-ayat Allah ini, dan itu kesempatan terakhirku melantunkannya di sampingnya. Hati lapang menerima kepergiannya, karena Allah izinkan kami mendampinginya menyebut nama Allah di saat terakhirnya.
Perjalanan 2018 berakhir di musim ini, menggugurkan segala riang yang bersemi sebelumnya. Akan tetapi, kematian adalah pengingat terbaik bagi diri yang masih kerap lalai. Sungguh kita tak sedikit pun punya kuasa untuk menunda maut, siapapun kita, apapun jabatan kita, sebanyak apapun harta yang kita punya, sehebat apapun keturunan kita, akhir kehidupan fana ini adalah kematian. Selanjutnya, kehidupan setelah kematian lah yang abadi. Jasad Mama tak bisa lagi kugenggam. Hangatnya sentuhannya tak bisa lagi dirasakan. Tapi segala kenangan tentangnya akan tetap tumbuh subur dalam ingatan. Mama acap kali hadir di setiap ruang sudut yang kutemui. Bahkan hingga hari berganti tahun demi tahun, ia hadir dalam doa yang kulangitkan. Rindu …
Komentar
Posting Komentar